Oleh: Hasanul Rizqa
Dalam akun pribadinya beberapa hari lalu, Ustaz Salim A Fillah mengungkapkan pengalamannya ketika menyambangi Jalur Gaza pada akhir Desember 2012 lalu. Pendakwah asal Yogyakarta itu menuturkan, dirinya takjub menyaksikan keseharian kaum Muslimin setempat yang tidak lepas dari Kitab Suci. Mereka rutin mengaji dan mengulang hafalan (muraja’ah) Alquran pada hampir setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu.
Usai shalat subuh berjamaah, Ustaz Salim dan rombongan mengikuti sebuah halakah di dalam masjid. Kebetulan, seorang di antara jamaah yang mereka jumpai ialah warga lokal yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang ikan di pasar. “Belajarlah dari kami,” katanya kepada para tamu dari Indonesia ini, “berpuluh tahun kami terjajah, lalu berusaha melawan tanpa melibatkan Allah. Maka kami patah.”
Lelaki Palestina itu kemudian menyebut nama pendiri Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah atau Hamas, yakni Syekh Ahmad Yasin (1937-2004). Menurutnya, tokoh yang mengalami kelumpuhan total pada sebagian tubuhnya itu membawa kebaruan pada sejarah perjuangan bangsa ini. Alih-alih membakar semangat rakyat untuk langsung mengangkat senjata melawan Israel, sang syekh mengajak mereka untuk terlebih dahulu memperbaiki habluminallah, yakni dengan meningkatkan interaksi dengan Alquran, mengkaji sejarah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, serta meramaikan masjid-masjid.
“Beliau (Syekh Ahmad Yasin) diketawakan para pejuang lain. ‘Hai Syekh’, kata mereka, ‘katanya mau membebaskan Masjid al-Aqsha? Katanya mau memerdekakan Palestina? Lha kok cuma baca Alquran? Lha kok cuma shalat dan wiridan! Ya enggak bisa. Ayo sini, pegang senapan seperti kami!’ Mereka mengatakan itu sambil mengejek fisik Syekh Ahmad Yasin yang cacat,” tutur lelaki itu kepada Ustaz Salim dan rombongan.
Cibiran dan caci maki tidak mematahkan semangat Syekh Ahmad Yasin. Terbukti, sejak awal 1980-an gerakan dakwah yang dimotorinya berhasil mencetak kader-kader pejuang yang membuat Zionis kalang-kabut. Hamas tidak hanya berfokus pada aksi membendung agresi Israel, tetapi juga menguatkan internal umat Islam Palestina. Organisasi yang berdiri sejak 1987 itu membangun sekolah-sekolah, lembaga-lembaga zakat, rumah-rumah sakit, dan pelbagai institusi sosial lainnya di Gaza.
“Lihatlah sekarang. Anak-anak yang dahulu mengaji kepada Syekh Ahmad Yasin menjadi para raksasa pejuang yang ditakuti Israel: dr Rantisi rahimahullah, Khalid Misy’al, Ismail Haniya, Fauzi Barhoum, Musa Abu Marzuq, dan lain-lain. Dan, mereka meneruskan pembinaan qurani itu pada generasi adik-adik mereka dan anak-anak mereka,” tulis Ustaz Salim dalam akun Instagram-nya, Kamis (9/11/2023).
Metode perjuangan yang dilakoni Syekh Ahmad Yasin sesungguhnya pernah dilakukan di masa lalu ketika kaum Muslimin mengalami keterpurukan. Tepatnya pada akhir abad ke-11 dan permulaan abad ke-12 M, dunia Islam diguncang perpecahan dahsyat, baik di belahan bumi barat (Andalusia) maupun timur (Arab dan sekitarnya). Di barat, Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Kordoba tercerai berai menjadi negeri-negeri kecil (taifa). Di timur, Kekhalifahan Abbasiyah yang de facto dikuasai Bani Seljuk jatuh dalam kekacauan usai wafatnya dua pemimpin mereka: Malik Shah putra Alp Arselan dan wazirnya, Nizham al-Muluk.
Dalam kondisi ketidakstabilan yang dahsyat itu, umat Islam khususnya di kawasan Syam pun merasakan kenyataan pahit. Daerah mereka diserbu Tentara Salib yang hendak mencaplok Baitul Makdis. Pasukan Kristen ekstrem dari Eropa itu membantai ribuan penduduk Muslim setempat. Bahkan, sasaran kekejaman Salibis bukan hanya orang Islam, tetapi juga kaum Yahudi dan Kristen Ortodoks.
Dalam artikelnya, "Muslim Response to the Crusades" (1997), Robert Irwin menjelaskan, kabar bahwa Salibis menyerbu Syam pada 1099 sampai ke Baghdad. Namun, khalifah Abbasiyah saat itu tidak menganggap Salibis sebagai ancaman nyata. Sebab, jarak antara Syam dan pusat pemerintaha Abbasiyah terbilang jauh. Lagipula, tidak ada tanda-tanda bahwa pasukan agresor tersebut akan bergerak ke arah timur.
Bagaimanapun, kaum Muslimin Baghdad tidak bisa dan tidak mungkin pula berpangku tangan. Dari tahun ke tahun, gelombang pengungsi dari Syam ke Irak kian bertambah banyak. Dan, orang-orang malang itu harus segera ditolong.
Keprihatinan tentunya juga melanda Syam. Irwin menukil ceramah seorang imam Damaskus yang mengunjungi Baghdad. Sesudah mendatangi khalifah, sang imam berorasi di atas mimbar Masjid Agung Baghdad. “Wahai jamaah,” katanya berseru, “saudara-saudara kita (di Baitul Makdis) kehilangan rumah-rumah mereka. Kini hidupnya terlunta-lunta di atas sadel unta, di bawah intaian burung-burung bangkai. Kepada siapa lagi mereka meminta bantuan selain saudara-saudara seiman?” Mendengar seruan itu, banyak jamaah menangis sedih dan pilu.
Ide terobosan
Para cendekiawan abad ke-12 M merenungi fenomena kemunduran umat Islam itu, yang ditandai dengan perpecahan-internal kaum Muslimin dan serangan dari luar. Seorang sarjana yang kemudian tampil merumuskan keadaan serta langkah-langkah kebangkitan ialah Imam al-Ghazali (1058-1111 M).
Ulama yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali itu merupakan rektor Universitas Nizhamiyah Baghdad sejak tahun 1091 M. Jabatan tersebut mencerminkan prestise yang tinggi di tengah masyarakat. Apalagi, lembaga yang dipimpinnya adalah kampus paling top di dunia saat itu.
Pada 1095, al-Ghazali meletakkan jabatan rektor. Beberapa sumber sejarah menyebutkan, sang alim saat itu mengalami kegoncangan spiritual dan krisis intelektual sekaligus karena ragu pada cara-cara yang sejati dalam memperoleh pengetahuan.
Metode empiris ternyata tidak bisa diandalkan. Sebab, panca indra manusia bisa saja keliru. Metode logika pun tak dapat menjamin kepastian. Satu-satunya pilihan yang terbuka baginya ialah tasawuf. Seperti diceritakan dalam tulisannya, Al-Munqidz Mina adh-Dhalal, sejak saat itu sang ilmuwan menjalani kehidupan sebagai seorang sufi.
Dr Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Zhahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Aadatil Quds (1985) menjelaskan, mundurnya al-Ghazali dari posisi rektor Nizhamiyah Baghdad disebabkan kegelisahan batinnya dalam menyaksikan kemerosotan umat Islam. Maka, al-Ghazali kemudian merumuskan gagasan dan gerakan yang disebut sebagai Reformasi atau Perbaikan (Islah).
Sesudah Malik Shah dan Nizham al-Mulk wafat, al-Ghazali menyaksikan betapa degradasi sebagian kaum terpelajar Muslim di daulah Abbasiyah kian jelas. Kaum cerdik pandai mudah terbuai pada status sosial. Bahkan, mereka seolah-olah menjadikan afiliasi pada mazhab fikih atau kalam tertentu sebagai jalan meraih jabatan dari penguasa.
“Hal itu membuat al-Ghazali memandang rendah kedudukan terhormat yang disandangnya, lalu dia memutuskan untuk keluar dari struktur mazhab dan melepaskan jabatannya di institusi-institusi pendidikan milik pemerintah (termasuk Madrasah Nizhamiyah),” jelas al-Kilani.
Al-Ghazali pertama-tama becermin pada hadis Nabi SAW, “Jika engkau melihat ego ditaati, nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang yang berilmu membanggakan pendapatnya, maka engkau harus sibuk membenahi diri sendiri dan hindarkan dirimu dari urusan orang banyak” (HR Tirmidzi).
Meninggalkan posisi rektor Nizhamiyah Baghdad tidak berarti menghentikan sumbangsih seorang terpelajar. Al-Ghazali bahkan dapat lebih intens lagi mengamati “penyakit” umat Islam kala itu. Menurut al-Kilani, penarikan diri (al-insihab) al-Ghazali dari lembaga-lembaga bentukan penguasa, termasuk Madrasah Nizhamiyah, adalah langkh pertama dari Islah. Dalam fase al-insihab itu, sosok berjulukan Hujjatul Islam (Pembela Islam) tersebut melakukan dua proses evaluasi, yakni terhadap pemikiran dan kecenderungan jiwa. “Sikap zuhud dan tasawuf menjadi pilihan barunya,” tulis al-Kilani.
Maka mengembaralah al-Ghazali ke arah barat Irak. Selama 10 tahun, dirinya berpindah-pindah, mulai dari Syam hingga Hijaz. Dalam pengembaraan itulah, ia melahirkan sejumlah karya besarnya, seperti Al-Munqidz Mina adh-Dhalal dan Ihya.
Praksis gagasan
Setelah itu, al-Ghazali sempat kembali ke Baghdad, tetapi kemudian beranjak lagi ke tanah kelahirannya, Thus. Di kampung halamannya itu, sang Pembela Islam mengajar dan membimbing khususnya masyarakat setempat dan umumnya para murid yang datang dari pelbagai penjuru. Pernah putra Nizham al-Mulk, Fakhr, memintanya datang ke Nishapur guna memimpin Madrasah Nizhamiyah setempat. Ia pun sempat menjadi rektor di sana, tetapi kemudian merasa terlalu terkekang formalitas sehingga dirinya kembali lagi ke Thus.
Al-Kilani menjelaskan, al-Ghazali tatkala menerapkan gagasan Islahnya dalam mendidik umat di Thus berfokus pada dua tujuan. Pertama, mencetak generasi baru yang dapat menjadi ulama atau elite pemimpin yang tulus ikhlas berjuang demi agama. Orang-orang itu bila di kemudian hari berperan sebagai ahli ilmu maka wajib rendah hati. Mereka bila kelak mengisi posisi sebagai politikus harus saling melengkapi, alih-alih saling jegal satu sama lain. Pahami dengan sungguh-sungguh bahwa tujuan paling luhur adalah ridha Illahi.
Kedua, Islah pun bertujuan mengatasi para musuh yang datang dari luar daulah Islam. Maka generasi yang dididik al-Ghazali harus menyadari perannya di masa depan dalam ikhtiar besar: membebaskan kaum Muslimin dari agresor. Termasuk di antara lawan-lawan mereka ialah Salibis yang saat itu menduduki Baitul Makdis.
Dengan demikian, ide Islah yang dicetuskan al-Ghazali diterjemahkan dalam praksis atau tindakan nyata melalui pendidikan. Sang alim pun pantang menyerah dalam membimbing generasi muda hingga dirinya berpulang ke rahmatullah pada 505 H/1111 M. Menurut al-Kilani, imam kelahiran Thus itu tidak sendirian dalam memperjuangkan Islah. Beberapa koleganya, semisal Ibrahim bin Muthahhir al-Jurjani dan Abu Qasim Ismail al-Hakimi, juga melakukannya. Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri bahwa al-Ghazali menjadi perintis pada masanya.
Al-Kilani mengatakan, ada tiga kaidah Islah menurut sang Hujjatul Islam. Pertama, tujuan dasar eksistensi umat Islam ialah menyebarkan risalah agama ini kepada seluruh alam. Jika Muslimin berpangku tangan, dunia akan dipenuhi berbagai kekacauan dan kerusakan besar. Kedua, haruslah dicari tahu penyebab umat Islam—apabila—berpangku tangan dan tidak menyebarkan misi islah ke seluruh penjuru bumi. Ketiga, mengetahui penyebab stagnannya umat Islam berarti mendiagnosis dan menyuguhkan solusi, bukan sekadar menampilkan reaksi secara emosional—semisal sibuk mencari-cari kambing hitam dan saling menuduh sesama Muslimin.
Lahirnya Generasi Saladin
Dalam Hakadza Zhahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Aadatil Quds (1985), al-Kilani menerangkan, bagaimana langkah-langkah Imam al-Ghazali dalam menghadirkan perubahan di tengah umat Islam pada masanya. Sosok berjulukan Hujjatul Islam (pembela Islam) itu mengidentifikasi faktor-faktor di balik kemunduran Muslimin sejak akhir abad ke-11 hingga abad ke-12 M. Yang tampak di permukaan, umat ini diterpa musibah-musibah besar: jatuhnya Umayyah di Andalusia, pecahnya dinasti-dinasti Sunni besar di Abbasiyah, dan serbuan Pasukan Salib atas Baitul Makdis.
Menurut al-Kilani, gerakan Reformasi atau Islah yang dimunculkan al-Ghazali terbukti menghadirkan perubahan di tengah umat. Transformasi itu pun bersifat orisinil dan islami. Sang Hujjatul Islam tidak berangkat, umpamanya, dari perebutan kekuasaan politik atau mobilisasi pasukan bersenjata. Yang diutamakannya justru adalah introspeksi diri kolektif umat Islam serta perbaikan pemikiran dan mental mereka. Sasaran utamanya adalah anak-anak muda. Ranah juangnya yang paling krusial adalah pendidikan sehingga tercapai tujuan mencetak generasi-generasi Muslim terbaik.
Imam al-Ghazali pun amat menginsafi, pendidikan bukanlah proses yang menghasilkan sesuatu secara instan. Bahkan, perubahan yang sejati tidak mungkin sekali-jadi. Kesabaran, itulah energi yang juga ditanamkan mantan rektor Universitas Nizhamiyah Baghdad tersebut. Karena itu, Islah baginya tidak boleh berhenti “hanya” karena dirinya atau rekan-rekannya sesama ulama meninggal dunia. Sepeninggalannya, para alim, sarjana, dan cendekiawan Muslim mesti meneruskan gerak perjuangan kolektif ini sehingga tumbuhnya bibit-bibit unggul umat Islam terus terjadi.
Seorang penerus spirit Imam al-Ghazali ini adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sama seperti pendahulunya itu, ahli tasawuf tersebut juga berjuang dalam mendirikan institusi-institusi pendidikan. Malahan, persebaran jaringan sekolahnya kian masif. Yang sedikit membedakannya dari Islah legasi al-Ghazali ialah fokusnya pada dua hal: kaderisasi dai dan bimbingan umat. Aspek yang pertama itu tampak mengemuka pada madrasah-madrasah Qadiriyah yang berdiri di kota-kota besar Islam. Adapun aspek yang kedua dapat dijumpai pada sekolah-sekolah di perdesaan.
Antara tahun 1146 dan 1174, di Syam naiklah penguasa yang visioner, yakni Nuruddin Zanki. Visinya mempersatukan seluruh umat Islam yang tinggal di negeri-negeri, mulai dari Mesir hingga Irak. Al-Kilani mengatakan, impian itu sangat sejalan dengan semangat berdirirnya Madrasah Qadiriyah—yakni jaringan sekolah yang terinspirasi ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Kala itu, Pasukan Salib masih menduduki kota-kota penting di Palestina, utamanya Baitul Makdis. Sementara, Madrasah Qadiriyah memiliki banyak murid yang merupakan putra-putra para pengungsi dari wilayah yang dijajah Salibis. Setelah dididik, mereka direkrut untuk menjadi dai dan kembali ke daerah asalnya untuk menyebarkan agama Islam dan semangat jihad. “Para pelajar tersebut dikenal dengan julukan al-Maqadisah yang dinisbatkan pada nama Kota al-Quds atau Baitul Makdis,” tulis al-Kilani.
Di kemudian hari, sebagian kelompok terpelajar al-Maqadisah piawai tidak hanya dalam urusan fikih atau syariat, tetapi juga politik. Banyak pula di antaranya yang menempati posisi penting dalam pemerintahan dan militer di bawah pimpinan Nuruddin Zanki.
Gaya kepemimpinan Nuruddin dilanjutkan penerusnya, Shalahuddin al-Ayubi. Sebelum wafat, Nuruddin membangun banyak madrasah di kota-kota besar. Sosok yang dikenal bangsa Eropa sebagai Saladin itu terus memperbaiki sistem dan pengajaran sekolah-sekolah itu. Al-Kilani menerangkan, pada era Saladin ulama yang menjadi arsitek sistem pendidikan saat itu ialah Muwaffaquddin Abdullah bin Qudamah. Sang alim dahulunya adalah murid di Madrasah Qadiriyah.
Singkat cerita, dari sekolah-sekolah yang diatur kurikulumnya oleh alumnus Qadiriyah itu, lahirlah generasi Muslim yang bermental tangguh. Banyak dari lulusannya yang lantas bergabung dalam pasukan Saladin, merebut Baitul Makdis dari tangan Salibis pada Jumat, 2 Oktober 1187 M.